BAB 2
Faktor Penentu Dampak Aktivitas Antipersaingan dan
Pengecualian UU No. 5
/ 1999 Pasal 50 Huruf G
Oleh :
Daniel Agustino
II.
Perkembangan Aktivitas Antipersaingan
1.
Kebijakan Persaingan dan Aktivitas Antipersaingan
Kebijakan
persaingan terdiri dari serangkaian langkah atau upaya yang dapat digunakan
untuk mempromosikan perilaku pelaku usaha dan struktur pasar yang kompetitif,
termasuk hukum persaingan yang komprehensif dan menjadi dasar dalam menindak
perilaku anti persaingan. Pada umumnya kebijakan semacam ini ditujukan untuk
mendorong terjadinya persaingan, memproteksi konsumen terhadap perilaku
antipersaingan, dan menciptakan lingkungan pasar yang terbuka bagi adanya
pelaku usaha yang mau masuk (free
market entry) dan praktek
bisnis yang adil baik dipasar domestik maupun di pasar global.
Tantangan utama
bagi kebijakan persaingan muncul seiring terjadinya reformasi ekonomi, globalisasi,
dan integrasi ekonomi. Ketiga faktor tersebut menjadi faktor pemicu kesadaran
bagi Negara-negara berkembang akan pentingnya prinsip-prinsip persaingan dan
pengaturan persaingan itu sendiri. Di banyak literatur dinyatakan bahwa tujuan
utama dari kebijakan persaingan adalah efisiensi dan kesejahteraan konsumen.
Konsep dari efisiensi ekonomi yang dimaksud tersebut dapat disadari dalam
beberapa bentuk, termasuk yaitu:
- Productive efficiency, Kondisi dimana perekonomian berupaya untuk mencapai batasan produksi maksimalnya (Production Possibility Frontier). Pencapaian tersebut dapat dilihat ketika produksi suatu barang dicapai pada tingkat biaya yang serendah mungkin, dengan kondisi tingkat produksi produk lainnya.
- Allocative efficiency, keadaan dimana sumber daya yang langkah dialokasikan untuk memproduksi barang dan jasa yang paling diminati oleh konsumen;
- Dynamic efficiency, suatu kondisi efisiensi yang dapat disadari ketika tekanan yang tercipta dipasar dari adanya peningkatan iklim persaingan membawa pada inovasi dan perbaikan ekonomi yang cepat.
Berdasarkan
karakteristiknya, aktivitas antipersaingan dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu:
- Private anticompetitive activities, perilaku anti persaingan semacam ini dilakukan sepenuhnya oleh pelaku usaha yang berada dipasar.
- Government / legalized anticompetitive activities, perilaku anti persaingan yang sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah akan tetapi disahkan melalui konstitusi.
- Hybrid / mixed anticompetitive activites, bentuk perilaku antipersaingan semacam ini merupakan kombinasi dari kedua bentuk aktivitas antipersaingan sebelumnya. Bentuk yang ketiga ini sangat tercermin dalam konteks perdagangan internasional dimana pemerintah dengan upayanya berusaha mendorong ekspor dari produk domestik baik melalui subsidi maupun fasilitas lainnya.
Dilihat dari proses produksi suatu barang sampai didistribusikan ke
konsumen terdapat kondisi-kondisi dimana perilaku antipersaingan tersebut dapat
muncul. Dengan membandingkan posisi satu perusahaan dengan perusahaan lainnya
dalam pasar relevan yang sama, dapat dilihat pada grafik bahwa kemungkinan
terjadinya perilaku antipersaingan dapat terjadi baik antara pemasok ke
manufaktur maupun dari manufaktur ke distributor yang mana menimbulkan hambatan
vertikal (vertical
restraint). Selain itu
dapat pula berupa perilaku antipersaingan yang terjadi antar pelaku usaha baik
antar manufaktur (produsen), pemasok, maupun distributor yang mana menimbulkan
hambatan horizontal (horizontal
restrain). Langkah-langkah
penegakan hukum persaingan dilakukan terhadap hambatan horizontal dan hambatan
vertikal. Langkah-langkah penegakan hukum untuk mengatasi hambatan horizontal dilakukan
ketika terjadi perjanjian atau kesepakatan antara pelaku usaha pada suatu usaha
yang sama untuk menetapkan harga, membagi wilayah pemasaran, dan atau
menghambat masuknya pesaing baru dengan membentuk kartel. Kartel dapat
diklasifikasikan menjadi kartel domestik, kartel impor, kartel ekspor, dan
kartel internasional.
2. Kebijakan Persaingan Internasional
Dengan adanya
proses integrasi ekonomi, hubungan antara perdagangan dan persaingan menjadi
lebih penting dan kompleks. Kebijakan persaingan perlu mempertimbangkan dampak dari
transaksi internasional mengingat dampaknya diluar cakupan kebijakan domestik. Pengaruh
negarif dari perilaku antipersaingan pelaku usaha transnasional dapat dilihat
pada ilustrasi berikut:
a. Perilaku semacam itu berupaya mengalahkan
tujuan dari liberalisasi perdagangan yaitu meningkatkan persaingan. Dalam kasus
Kodak (perusahaan multinasional Amerika Serikat dan menguasai 4% pangsa pasar
film di Jepang) dan Fuji (perusahaan Jepang dengan pangsa pasar film di Jepang
sebesar 40% ), Kodak menduga bahwa kemampuannya untuk bersaing di pasar Jepang
dihambat karena terdapatnya perjanjian eksklusif antara perusahaan penjualan (wholesaler) terbesar keempat di Jepang dengan Fuji
untuk mendistribusikan produknya Fuji.
b. Perilaku tersebut juga menghilangkan
keuntungan dari negara-negara yang melakukan perdagangan. Jika misalkan
Microsoft menyalahgunakan posisinya di pasar, maka semua pembeli sistem
Microsoft akan merasakan akibatnya karena hal tersebut karena mereka tidak
mempunyai pilihan lain dan membatasi akses terhadap produk yang lebih
berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar