Kamis, 02 Mei 2013

Faktor Penentu Dampak Aktivitas Antipersaingan dan Pengecualian UU No. 5 / 1999 Pasal 50 Huruf G

BAB 2


Faktor Penentu Dampak Aktivitas Antipersaingan dan
Pengecualian UU No. 5 / 1999 Pasal 50 Huruf G

Oleh : Daniel Agustino



II. Perkembangan Aktivitas Antipersaingan

1. Kebijakan Persaingan dan Aktivitas Antipersaingan

Kebijakan persaingan terdiri dari serangkaian langkah atau upaya yang dapat digunakan untuk mempromosikan perilaku pelaku usaha dan struktur pasar yang kompetitif, termasuk hukum persaingan yang komprehensif dan menjadi dasar dalam menindak perilaku anti persaingan. Pada umumnya kebijakan semacam ini ditujukan untuk mendorong terjadinya persaingan, memproteksi konsumen terhadap perilaku antipersaingan, dan menciptakan lingkungan pasar yang terbuka bagi adanya pelaku usaha yang mau masuk (free market entry) dan praktek bisnis yang adil baik dipasar domestik maupun di pasar global.

Tantangan utama bagi kebijakan persaingan muncul seiring terjadinya reformasi ekonomi, globalisasi, dan integrasi ekonomi. Ketiga faktor tersebut menjadi faktor pemicu kesadaran bagi Negara-negara berkembang akan pentingnya prinsip-prinsip persaingan dan pengaturan persaingan itu sendiri. Di banyak literatur dinyatakan bahwa tujuan utama dari kebijakan persaingan adalah efisiensi dan kesejahteraan konsumen. Konsep dari efisiensi ekonomi yang dimaksud tersebut dapat disadari dalam beberapa bentuk, termasuk yaitu:
  1.      Productive efficiency, Kondisi dimana perekonomian berupaya untuk mencapai batasan produksi   maksimalnya (Production Possibility Frontier). Pencapaian tersebut dapat dilihat ketika produksi suatu barang dicapai pada tingkat biaya yang serendah mungkin, dengan kondisi tingkat produksi produk lainnya.
  2.       Allocative efficiency, keadaan dimana sumber daya yang langkah dialokasikan untuk memproduksi barang dan jasa yang paling diminati oleh konsumen;
  3.        Dynamic efficiency, suatu kondisi efisiensi yang dapat disadari ketika tekanan yang tercipta dipasar dari adanya peningkatan iklim persaingan membawa pada inovasi dan perbaikan ekonomi yang cepat.


Berdasarkan karakteristiknya, aktivitas antipersaingan dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu:

  1.      Private anticompetitive activities, perilaku anti persaingan semacam ini dilakukan sepenuhnya oleh pelaku usaha yang berada dipasar.
  2.    Government / legalized anticompetitive activities, perilaku anti persaingan yang sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah akan tetapi disahkan melalui konstitusi.
  3.       Hybrid / mixed anticompetitive activites, bentuk perilaku antipersaingan semacam ini merupakan kombinasi dari kedua bentuk aktivitas antipersaingan sebelumnya. Bentuk yang ketiga ini sangat tercermin dalam konteks perdagangan internasional dimana pemerintah dengan upayanya berusaha mendorong ekspor dari produk domestik baik melalui subsidi maupun fasilitas lainnya.
Dilihat dari proses produksi suatu barang sampai didistribusikan ke konsumen terdapat kondisi-kondisi dimana perilaku antipersaingan tersebut dapat muncul. Dengan membandingkan posisi satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dalam pasar relevan yang sama, dapat dilihat pada grafik bahwa kemungkinan terjadinya perilaku antipersaingan dapat terjadi baik antara pemasok ke manufaktur maupun dari manufaktur ke distributor yang mana menimbulkan hambatan vertikal (vertical restraint). Selain itu dapat pula berupa perilaku antipersaingan yang terjadi antar pelaku usaha baik antar manufaktur (produsen), pemasok, maupun distributor yang mana menimbulkan hambatan horizontal (horizontal restrain). Langkah-langkah penegakan hukum persaingan dilakukan terhadap hambatan horizontal dan hambatan vertikal. Langkah-langkah penegakan hukum untuk mengatasi hambatan horizontal dilakukan ketika terjadi perjanjian atau kesepakatan antara pelaku usaha pada suatu usaha yang sama untuk menetapkan harga, membagi wilayah pemasaran, dan atau menghambat masuknya pesaing baru dengan membentuk kartel. Kartel dapat diklasifikasikan menjadi kartel domestik, kartel impor, kartel ekspor, dan kartel internasional.


    2. Kebijakan Persaingan Internasional

      Dengan adanya proses integrasi ekonomi, hubungan antara perdagangan dan persaingan menjadi lebih penting dan kompleks. Kebijakan persaingan perlu mempertimbangkan dampak dari transaksi internasional mengingat dampaknya diluar cakupan kebijakan domestik. Pengaruh negarif dari perilaku antipersaingan pelaku usaha transnasional dapat dilihat pada ilustrasi berikut:


a.       Perilaku semacam itu berupaya mengalahkan tujuan dari liberalisasi perdagangan yaitu meningkatkan persaingan. Dalam kasus Kodak (perusahaan multinasional Amerika Serikat dan menguasai 4% pangsa pasar film di Jepang) dan Fuji (perusahaan Jepang dengan pangsa pasar film di Jepang sebesar 40% ), Kodak menduga bahwa kemampuannya untuk bersaing di pasar Jepang dihambat karena terdapatnya perjanjian eksklusif antara perusahaan penjualan (wholesaler) terbesar keempat di Jepang dengan Fuji untuk mendistribusikan produknya Fuji.

b.       Perilaku tersebut juga menghilangkan keuntungan dari negara-negara yang melakukan perdagangan. Jika misalkan Microsoft menyalahgunakan posisinya di pasar, maka semua pembeli sistem Microsoft akan merasakan akibatnya karena hal tersebut karena mereka tidak mempunyai pilihan lain dan membatasi akses terhadap produk yang lebih berkualitas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar